Tiga Pilar Kurikulum Pendidikan Islam

Oleh : M. Masykur Ismail

Dalam mengemban amanah sebagai pengelola maupun pendidik di lembaga Pendidikan Islam, maka memahami pilar-pilar kurikum dalam pendidikan Islam menjadi sebuah keharusan agar kita mempunyai arah dan tujuan yang jelas. Diantara prinsip-prinsip dalam mendidik generasi umat Islam ini menurut Dr. Adian Husaini adalah; mendahulukan adab, mengutamakan ilmu fardhu ‘ain dan memilihkan ilmu farhu kifayah yang tepat. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan kita bahas lebih detail.

1. Mendahulukan adab

Terkait mendahulukan adab ini sering disampaikan oleh Murobbi kita, Abi KH. Muhammad Ihya’ Ulumiddin. Beliau biasanya mengutip sebuah maqolah Imam Malik, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu” (ta’allamil adaba qobla an tata’alamal ilma). Ibnul Mubarok juga pernah berkata, “Kami mempelajari adab selama selama 30 tahun, sementara mempelajari ilmu selama 20 tahun”. Belum lagi bagaimana Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani begitu perhatian dengan adab para santri-santrinya hingga pada hal yang sangat detail. Ini menunjukkan besarnya perhatian para ulama untuk mendahulukan adab dalam pendidikan Islam.

Secara umum Rasulullah SAW bersabda “Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.” (Akrimuu aulaadakum, wa-ahsinuu adabahum).” (HR Ibn Majah). Kitab Adab al-Alim wal-Muta’allim, karya KH Hasyim Asy’ari, menyebutkan, bahwa Imam asy-Syafii rahimahullah, pernah ditanya, “Bagaimana usaha Tuan dalam mencari adab?” Sang Imam menjawab, “Aku senantiasa mencarinya laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”

Makna ‘adab’ dalam tulisan ini tidak hanya berkaitan dengan ‘sopan santun’, sebagaimana tercantum dalam kamus-kamus Bahasa Indonesia. Tetapi lebih dari itu, yaitu; “orang yang menyadari sepenuhnya tanggungjawab dirinya kepada Alloh SWT, serta memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya”. Bahkan Syed Muhammad Naquib Al Attas mengaitkan adab ini dengan ‘hasil Pendidikan’, karena ‘pendidikan’ menurut beliau adalah ‘ta’dib’ sesuai penjelasan Rasulullah SAW: “Addibu auladakum ‘ala tsalatsa khisholin, Hubby Nabiyikum wa hubby ahli baity wal qiroatul qur’an” (Didiklah anak-anak kalian atas tiga perkara : Mencintai Nabinya Saw, Mencintai Keluarga Nabi, dan mencintai Al Quran). Maka pendidikan (ta’dib) hakikatnya adalah menjadikan anak ‘beradab.’

Oleh karena itu, lembaga pendidikan kita dianggap gagal jika hanya berhasil mencetak anak yang pintar secara kognitif tetapi tidak sadar sholat, atau meraih prestasi dalam pelajaran tertentu tetapi tidak mencintai Nabi saw, atau para pewaris Nabi SAW. Santri beradab akan ikhlas taat kepada Tuhannya, hormat guru dan orang tua, cinta sesama teman dan sesama Muslim, dan semangat belajar dengan tekun untuk mengembangkan potensi dirinya sebagai anugerah Alloh SWT. Contoh ideal manusia yang beradab menurut Al Attas dan para ulama lainnya adalah  Rasulullah SAW.  

Perlu kita pahami bersama, adab tidak bisa hanya diajarkan tetapi ditanamkan dan dicontohkan. Artinya, sosok pendidik adalah orang yang bisa menjadi motivator sekaligus teladan bagi para santrinya, bahkan tidak segan-segan bertindak tegas terhadap santri yang tidak beradab. Menurut Dr. Adian Husaini, sosok guru bukanlah ‘tukang mengajar’ sehingga selesai mengajar selesai kewajibannya dan tinggal meminta upahnya sebagai tukang, na’udzubillah.

2. Mengutamakan Ilmu Fardhu ‘Ain

“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi umat Islam laki-laki dan perempuan”, demikian dalam Hadits Nabi SAW yang sudah masyhur kita ketahui. Itu berarti setiap umat Islam wajib menuntut ilmu, namun bukan berarti semua ilmu wajib dipelajari. Menurut Imam Al-Ghozali, ilmu dikategorikan dalam dua jenis yaitu, ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang berkaitan dengan kewajiban setiap orang atau indivdu untuk mengetahuinya seperti aqidah Islam, sholat lima waktu, puasa romadhon, zakat, haji, larangan membunuh, riba, zina, mencuri, minum minuman keras, dan lain-lainnya. Sementara ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang wajib dikuasai oleh sebagian umat Islam.

Kita sebagai pengelola dan pendidik lembaga pendidikan Islam seharusnya menyadari dua kategori ilmu tersebut agar tidak tumpang tindih dalam menyusun kurikulum. Dalam hal ini tentu mempertimbangkan tingkat satuan pendidikan yang akan  ditetapkan. Misalnya untuk tingkat TK, seharusnya sudah dipetakan target ilmu fardhu ‘ain apa yang harus dicapai santri dalam standard kelulusannya. Atau tingkat SD, tentu target fardhu ‘ain yang diajarkan dan dijadikan standard kelulusannya lebih tinggi dari tingkat sebelumnya. Sehingga tidak terjadi seorang anak pandai dalam pelajaran tertentu tetapi tidak hafal bacaan sholat dengan baik. Atau sudah belajar dan menguasai ilmu-ilmu tingkat SD tetapi ilmu-ilmu fardhu ain-nya masih setingkat TK.

Ilmu fardhu ‘ain ini harus mendapat prioritas dan penekanan yang kuat dalam sebuah lembaga pendidikan Islam karena sifatnya yang wajib dikuasai oleh masing-masing anak. Semua stake holder harus bersatu untuk memastikan masing-masing anak menguasai dan mempraktekkan materi ini dengan baik. Biaya dan sarana prasarana juga semestinya lebih banyak alokasinya untuk menuntaskan target materi ini. Termasuk dholim kita jika target materi fardhu ain ini tidak tercapai sementara materi lainnya bisa tercapai.   

3. Memilihkan Ilmu Fardhu Kifayah yang Tepat    

Ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang tidak harus dikuasai oleh semua umat Islam, tetapi cukup sebagian dari mereka yang menguasai, misalnya ilmu tentang kedokteran, fisika, Bahasa dan lain-lainnya. Ilmu-ilmu dalam kategori ini perlu dipelajari oleh sebagian umat islam untuk kemaslahatan mereka. Jika diantara umat Islam tidak ada yang menguasai ilmu tersebut maka berpotensi akan terjadi kekacauan atau mudah ditipu oleh umat yang lain. Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk belajar Bahasa Ibrani agar bisa menerjemahkan surat-surat yang diterima oleh Rasulullah saw. Sebelumnya surat-surat tersebut diterjemahkan oleh salah seorang Yahudi, lalu Rasulullah SAW. meragukan kejujurannya.

Pemilihan ilmu fardhu kifayah yang tepat di sini maksudnya adalah dasar pemilihannya menyesuaikan dengan kebutuhan umat Islam. Pertimbangannya bukan pada ilmu yang mendatangkan materi atau gaji yang banyak, sehingga memunculkan jurusan-jurusan yang favorit dan diperebutkan banyak orang, tetapi pada pertimbangan umat ini butuh ahli dan pakar apa agar maslahah. Itu yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam mendalami ilmu fardhu kifayah.

Sementara pemilihan ilmu fardhu kifayah untuk level anak usia Dini, Dasar dan Menengah adalah dengan mempertimbangkan faktor kecenderungan anak. Setiap anak tentu mempunynai kecenderungan masing-masing, seperti senang pelajaran olah raga, matematika, Bahasa atau lainnya. Maka sisi kecenderungan itu yang dimotivasi agar tumbuh semakin kuat sehingga bisa menguasai materi itu secara mendalam. Kemudian diarahkan untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut untuk kemudian memberikan manfaat pada orang lain dengan keahlian tersebut. Karena mempertimbangkan kecenderungan masing-masing anak, tentu dalam pengajarannya tidak sekuat penekanannya seperti dalam ilmu fardhu ain, yang masing-masing anak harus menguasai dengan sebaik mungkin.

Penutup

Demikian tiga pilar kurikulum pendidikan Islam yang mesti dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam, agar bisa melahirkan generasi yang beriman, bertaqwa, beradab dan berguna bagi sesama. Tentu tulisan ini masih sangat jauh dari sempurna dan perlu kajian lebih lanjut agar lebih paraktis untuk diterapkan. Semoga yang sedikit ini bisa memberikan manfaat.

والله يتولى الجميع برعايته

KALAM HIKMAH


“Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu”
(ta’allamil adaba qobla an tata’alamal ilma)

~imam malik

“Kami mempelajari adab selama selama 30 tahun, sementara mempelajari ilmu selama 20 tahun”

~ibnul mubarok

“Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.” (Akrimuu aulaadakum, wa-ahsinuu adabahum).

(hr. Ibnu majah)

“Aku senantiasa mencarinya (adab) laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”

~imam asy-syafi’i

Addibu auladakum ‘ala tsalatsa khisholin, Hubby Nabiyikum wa hubby ahli baity wal qiroatul qur’an”

(Didiklah anak-anak kalian atas tiga perkara : Mencintai Nabinya Saw, Mencintai Keluarga Nabi, dan mencintai Al Quran)

~ Rasulullah SAW ~


sosok pendidik adalah orang yang bisa menjadi motivator sekaligus teladan bagi para santrinya