Oleh : Zainal Arifin (ZA)
Profesi mengajar tidak dapat disamai oleh profess yang lain apa pun dalam hal keutamaan dan kedudukan, dan profesi (sebagai) pengajar semakin mulia dan semakin bermanfaat materi ilmu yang diajarkan, semakin tinggi pula kemuliaan dan derajat pemiliknya. Dan ilmu yang mulia secara mutlak adalah ilmu syariat, baru kemudian ilmu-ilmu yang lain, masing-masing sesuai tingkatannya. Seorang pengajar, jika dia mengikhlaskan amalnya untuk Alloh serta meniatkan mengajarnya untuk memberikan manfaat bagi manusia, mengajarkan mereka yang baik, dan ingin mengangkat kebodohan dari anak didik kita, maka hal itu akan menjadi nilai tambah dihadapan Alloh.
Tugas seorang pengajar tidak hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran kepada para anak didik saja, ini merupakan tugas berat dan sulit tapi percayalah tidak ada yang sulit kalau mau ikhlas dan bersungguh-sugguh maka Alloh akan memberikan kemudahan. Tugas mengajar memerlukan kesabaran, amanah, ketulusan, mengayomi, yang di bawahnya, dan berani karekter ini yang diajarkan oleh para nabi saat berdakwah dihadapan kaumnya. Dalam kesempatan kali ini saya ingin menyampaikan karakter berani bagi para pendidik (kiyai, ustadz, orang tua).
Barangkali banyak orang menganggap aneh mengangkat pembahasan karakter BERANI. Barangkali ada yang mengatakan, “sikap keberanian tidak ada kaitannya dengan ta’lim (belajar mengajar), terlebih lagi untuk guru!”. Istilah keberanian yang dimaksud di sini, adalah keberanian dalam mendidik, sebagaimana yang diistilahkan banyak kalangan dan tidak perlu ada perdebatan dalam penetapan istilah. Adapun “berani” yang dipahami otak ketika pertama kali mendengar kata ini, maka nabi Muhammad shollohu’alihi wa sallam adalah orang yang berani, sehingga Sebagian sahabat berlindung dan memohon bantuan kepada beliau ketika perang telah memuncak dan berkobar, hanya keberanian beliaulah para sahabat yang mulia menjadi bersemangat dan tenang. Sebagaimana riwayat sayyidina Ali, dia berkata : “Apabila peperangan telah berkecamuk, dan musuh bertemu musuh, maka kami berlindung kepada Rosululloh shollohu’alaihi wa sallam sehingga tidak ada seorangpun yang lebih dekat kepada musuh dari pada beliau.” (Hr. Ahmad)
Adapun keberanian yang dimaksud disini, adalah berani mengatakan dan mengakui kesalahan dan kekurangan diri sendiri. Adapun pengelabuan, rasa takut, dan berusaha mengelak bukanlah sifat terpuji dan harus menjauhinya.
Berikut contoh keberanian untuk meminta maaf yang telah dicontohkan oleh Rosululloh shollohu’alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia, saat salah merasuki setiap diri.
1. حَدَّثَنِي رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ قَالَ قَدِمَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يَأْبُرُونَ النَّخْلَ يَقُولُونَ يُلَقِّحُونَ النَّخْلَ فَقَالَ مَا تَصْنَعُونَ قَالُوا كُنَّا نَصْنَعُهُ قَالَ لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا فَتَرَكُوهُ فَنَفَضَتْ أَوْ فَنَقَصَتْ قَالَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيٍ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
Dari Abu Rofi’ bin Khodij, dia berkata Nabi Shollohu’alaihi wa sallam tiba di Madinah sementara mereka sedang menyerbukkan kurma, mereka menyebutnya mengawinkan kurma. Beliau bersabda, ‘Apa yang kalian lakukan ?’ Mereka mengatakan, kami telah terbiasa melakukannya. ‘Beliau bersabda, ‘Barangkali kalau kalian tidak melakukannya akan lebih baik bagi kalian. Mereka pun berhenti melakukannya, namun buahnya malah berkurang. Maka mereka menceritakan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, ‘Saya hanyalah manusia. Jika aku memerintahkan kalian sesuatu dari perkara agama kalian, maka ambillah, dan jika saya memerintahkan kalian kepada sesuatu berdasarkan pendapatku (untuk urusan dunia), maka sesungguhnya saya hanya manusia biasa’.” (Hr. Muslim)
Riwayat lain menyebutkan :
أَنْتُمْ أًعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian”
Dari konteks hadits tersebut terlihat jelas sifat manusia nabi (basyariah), bahwa beliau suatu saat dihinggapi sifat kemanusiaannya seperti lupa, salah, dan lainnya. Adapun pada tempat pensyariatan, maka sifat lupa tidak mungkin terjadi. Ya, beliau memang pernah lupa pada tempat pensyariatan (tapi) untuk mengajarkan umat, sebagaimana beliau pernah salam pada rokaat kedua pada sholat empat rokaat. Manakala beliau diberitahukan akan hal itu beliau bangkit dan menyempurnakan sisanya kemudian sujud sahwi.
Singkatnya, Nabi Muhammad shollohu’alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa beliau manusia biasa, suatu saat bisa salah dan lupa tapi perlu diingat bahwa yang beliau lakukan berdasarkan bimbingan wahyu.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. (QS. Al Kahfi : 110)
2. Diriwayatkan oleh Masruq, dia berkata, Umar bin Khottob rodhia’anhu naik ke mimbar Rosululloh shollollohu‘alaihi wa sallam kemudian berpidato, “Wahai manusia, mengapa kalian menjadikan mahar perempuan mahal, padahal rata-rata mahar Rosululloh shollollohu‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya empat ratus dirham atau kurang dari itu. Seandainya memperbanyak hal itu mengandung nilai takwa atau kemuliaan di sisi Alloh, kalian tidak mendahului mereka kepadanya. Maka, jangan sampai saya mengetahui ada laki-laki memberikan mahar perempuan lebih dari empat ratus dirham.” Kemudian Sayyidina Umar turun. Maka dia diprotes oleh oleh seorang perempuan Quraiys seraya berkata, “Wahai Amirul mukminin, Anda melarang orang memberikan mahar lebih dari empat ratus dirham?” Sayyidina Umar menjawab, “Iya. “Perempuan itupun berkata, “Tidakkah Anda mendengar Alloh berfirman :
وَآتَيْتُمْ إِحْداهُنَّ قِنْطاراً
……. Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak ……” (Qs. An Nisa : 20)
Sayyidan Umar pun langsung beristighfar, “Ya Alloh, ampunilah aku, semua orang lebih paham dari Umar.” Beliau Kembali dan naik mimbar sembari mengatakan, “Wahai sekalian manusia, aku telah melarang kalian dari memberikan mahar perempuan lebih dari empat ratus dirham, maka barang siapa berkendak memberikan dari hartanya apa yang dia suka(maka lakukanlah).”
3. Dari Muhammad bin Ka’ab Al Qurodzi, dia berkata, “Seorang bertanya kepada Sayyidina Ali tentang sebuah permasalahan dan dia pun menjawabnya. Laki-laki tadi mengatakan, ‘Bukan begitu wahai Amirul mukminin, akan tetapi begini dan begini.’ Sayyidina Ali berkata, ‘Kamu benar dan aku telah salah, dan diatas setiap yang memiliki ilmu ada yang (lebih) berilmu’.”
Allohu Akbar! Lihatlah murid-murid hasil didikan nabi Muhammad shollollohu‘alaihi wa sallam. Mereka telah memberikan contoh paling indah dalam keberanian dan sikap adil, walaupun itu harus dengan membayar harga diri. Ini akan menambah kemuliaan dan wibawa seseorang dan tidak mengurangi kehormatannya sedikitpun.
Kiyai, ustadz (guru), dan orang tua sebagai pendidik suatu saat akan mengalami kondisi-kondisi seperti itu karena sifat kemanusiaanya. Apa yang akan dikatakan oleh para pendidik jika dia salah dalam sebuah masalah tertentu dan dikritik oleh salah satu peserta didiknya (santri, murid, anak), kemudian diketahui yang disampaikan peserta didik itu benar, apakah dia segera berterima kasih dan mengakui kesalahan tersebut ? ataukah akan berkilah, membolak-balik kata sebagian atas sebagian yang lain sehingga seakan-akan menunjukkan kebenaran perkataannya. Guru, orang tua, pembimbing ruh kami Abi KH. M. Ihya’ Ulumiddin sering bercerita disela-sela saat ngaji, ada kiyai yang saat mengaji salah memberi arti lafad Jarodun dan Khinzir, kiyai itu memberi arti pintu pada lafadz Jarodun dan memberi arti cleng pada lafadz Khinzir saat itu ada santri yang mengingatkan kalau artinya adalah belalang. Abi Ihya’ bercerita memakai Bahasa jawa, “wal Jarodu lan lawang, santri menjawab, ‘Sanes lawang Yai tapi walang, sang kiyai menjawab, ‘Walang menclok nang lawang’. Kemudian dilanjutkan dengan memberi arti lafadz wal Khinziri lan Cleng, santri menjawab, ‘Sanes cleng Yai, tapi celeng, lah kan celeng mlakune cleng-cleng, lalu Abi Ihya’ dawuh, ini adalah sosok karakter guru yang tidak berani mengakui kesalahannya.” Beliau juga menyebut pendidik seperti itu dengan sebutan kiyai pengku.
Ibnu Abdil Barr berkata, “Diantara bentuk keberkahan ilmu dan juga adab-adabnya adalah bersikap obyektif di dalamnya. Barang siapa tidak bersikap obyektif, maka dia tidak akan paham dan tidak akan mampu memahamkan yang lain.”
Murobbi kita Abi KH Ihya’ Ulumiddin sudah mencontohkan kepada santri-santrinya, beliau pernah mengatakan dihadapan para santri pada saat acara rutin tahunan, “Kalau aku salah dan melampaui wewenangku atas kalian, aku minta maaf”. Maka sudah menjadi keharusan kita sebagai santri beliau mencontoh apa yang sudah beliau lakukan.
Kesimpulan :
1. Bersikap berani adalah tuntutan bagi setiap pendidik.
2. Mengakui kesalahan tidak akan mengurangi kewibawaan pelaku kesalahan, bahkan merupakan kemuliaan baginya dan bukti atas sifat keberaniannya.
3. Mengakui kesalahan artinya memperbaiki kesalahan, dan mengingkari kesalahan berarti bersikap sombong atas kesalahnnya.
Semoga bermanfaat dan semoga tulisan ini bisa menginspirasi bagi yang membaca.
Wallohu a’lam bis showab.
KALAM HIKMAH
Percayalah tidak ada yang sulit kalau mau ikhlas dan bersungguh-sugguh maka Alloh akan memberikan kemudahan
Kalau aku salah dan melampaui wewenangku atas kalian, aku minta maaf”
Abina Muhammad ihya’ ulumiddin